Uncategorized

What A Week

Libur lebaran ini penuh cerita meski saya nggak kemana-mana. Cerita-cerita ini tercipta justru dari kawan-kawan masa lalu. Cerita yang tak pernah saya bayangkan 20 hingga 25 tahun yang lalu.

Cerita pertama datang dari “mantan tetangga”. Dulu kami sama-sama jadi pengurus Mudika (Muda Mudi Katolik. Yes, istilah yang asing buat anak zaman now). Kami bersekolah di SMA yang sama, dia seangkatan di bawah saya.

Waktu SMA itulah saya pernah dekat dengan seseorang, dan kawan saya ini lalu dekat juga dengan orang itu. Saya yang merasa tersaingi lantas menjauh. Hahaha.. childish sekali ya.. Tapi ya itulah yang terjadi kala itu meski di kemudian hari saya menyadari bukan kawan saya yang salah, tapi orang itulah yang aji mumpung.

Sekian tahun berlalu, dia pindah rumah. Lalu saya dengar dia menikah, berpisah, lalu menikah lagi, sementara saya masih begini-begini aja. Dia meneruskan usaha kedai makanan milik orang tuanya, lalu kemudian nenek dan mamanya meninggal.

Setelah momen-momen berat itulah kami justru menjadi dekat, karena alasan yang simple : saya sering pesan mie ayamnya yang enak banget. Papi dan mami juga ngefans banget sama ayam penyet buatan dia. Kawan saya ini juga sangat care dengan kami sekeluarga, terutama setelah mami saya sakit akhir-akhir ini.

Dua hari sebelum lebaran, saya asyik nongkrong di kedainya dan berbagi banyak cerita dengannya dan suaminya. Dia bercerita tentang kegagalan pernikahannya yang pertama karena mantan suaminya ternyata selingkuh sana-sini dan tidak pernah memberi nafkah. Ia bercerita tentang mamanya, kisah-kisah yang membangkitkan kenangan ketika kami masih aktif mudika dan mamanya selalu menjadi supporter terbesar bagi kami.

Keesokan harinya, kawan saya itu minta izin untuk menculik saya 🤣. Kami jalan-jalan ke sebuah mal di kawasan Sentul dan bayangkan, kami bergandengan tangan sepanjang jalan. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan apalagi pikirkan. Dalam hati saya meminta maaf atas segala kesalahpahaman dua dasawarsa lalu dan bersyukur bahwa ia telah memaafkan saya.

Cerita kedua datang dari seorang yang bisa disebut sahabat ketika SMA. Kami masuk SMA dengan status yang sama : pendatang baru. Meski berasal dari SMP yang sama, kami bisa langsung akrab karena ikutan ekskul KIR BioKim. Kami bahkan pernah ujug-ujug dipaksa oleh senior untuk menjadi kandidat ketua BioKim. Bukannya bersaing, kami malah saling dukung 🤣 Pernah ada gosip antara kami berdua karena dia memang baik sih. Dia pernah memasangkan earphone di kuping saya walau saya lupa lagu apa yang ia suruh saya dengarkan.

Kami sekelas ketika kelas 3 SMA. Bisa dibilang kami selalu jadi saingan rangking waktu itu. Dia duduk di pojok belakang, sering main kartu dengan teman sebangku dan depannya, bahkan kadang sambil makan kacang atau kuaci. Saya duduk paling depan, persis di depan meja guru. Kami bergantian jadi si rangking 1 dan 2 di kelas. Kami juga sering adu cela dengan nama bokap masing-masing.

Kemarin saya ajak mami untuk konsultasi dengan dia, yang sudah jadi dokter spesialis Urologi. Luar biasa ketika dia bisa mengenali saya yang memakai masker. Meski awalnya canggung, lama-lama kami kembali ke panggilan santai : lu gua. Entah berapa lama waktu yang kami habiskan di ruangannya karena saat keluar kami dapat tatapan jutek dari pasien-pasien yang masih mengantre.

Di tengah sesi konsul, dia berseru ke asistennya : “Dulu waktu SMA, saya selalu rangking 1. Cuman dia ini nih (sambil nunjuk saya) yang bisa ngalahin saya.” Dan saya balas, “Mas, si dokter ini dulu duduknya di pojok belakang sambil main tapi pinternya luar biasa.” Si Mas asisten cuma bisa nyengir, mungkin ia berharap bisa segera membekap mulut kami karena sesi konsul kami sudah kelamaan.

Saya rasanya ingin menangis ketika kasir rumah sakit bilang pembayaran konsul mami didiskon sekian puluh persen. Bukan didiskon oleh rumah sakit, tapi oleh kawan saya itu. Apalagi setelah dia menjawab WA saya dengan kalimat yang bikin nyes di hati : “Kabar2in ajah, klo gw bisa bantu na.”

God bless you, dokter Ju. Walaupun kita reuni dalam kondisi yang sangat tidak nyaman, tapi terima kasih masih mengingat saya. Terima kasih masih tetap sama seperti kamu yang saya kenal sejak 24 tahun yang lalu.

Uncategorized

Bos Baru

Setahun nggak ngeblog, sekalinya nulis malah ngomongin bos.. Hehehehe..

“Ig, kamu ingat kan waktu di Bangkok? Kita diomelin sama customer, terus panas-panasan naik ke kontainer. You did great, Igna! Saya mau kamu maju! Pabrik ini butuh orang-orang muda karena nggak selamanya kami-kami yang tua ini ada disini….” Dan masih banyak kalimat yang ia utarakan untuk membuat saya yakin memegang jabatan baru ini. Saya tak bisa menangkap semua kata-katanya karena saya harus menahan air mata dan menahan mulut ini untuk tak menyanggahnya dengan emosi. Saya hanya bisa terdiam, menggigit bibir hingga terasa perih. Karena apapun yang saya ucapkan tak akan bisa menghapus nama saya dari puncak struktur Departemen Technical.

Juli tahun ini. Dia datang kembali setelah sekian lama menghilang. Wajah lama yang familiar dan dikenal oleh hampir seluruh karyawan di pabrik tempat saya bekerja. Kedatangannya sudah diisukan sejak awal tahun ini, diiringi berbagai peristiwa yang mengejutkan (termasuk saya yang terkejut karena sahabat saya dimutasi ke pabrik Tangerang), hingga kami segera melupakannya. Tapi benarlah yang dikatakan oleh Lambe Turah : “gosip adalah kenyataan yang tertunda” karena tiba-tiba ia datang enam bulan setelah gosip itu muncul.

Setiap perubahan membawa harapan. Kedatangannya bagai menggeser plant head lama yang tiba-tiba dimutasikan ke Surabaya. Saya, sebagai salah satu karyawan yang “tidak pernah bisa bekerja” di hadapan plant head lama, auto bersorak-sorai gembira. Tapi siapa sangka, saya justru malah menelurkan catatan buruk di depan plant head baru ini. Seekor kucing yang pipis dan poop di atas box produk, ditambah dengan produk plant test yang tak sengaja terkirim ke customer, menyeret saya ke dalam masalah, meski bukan saya yang menciptakan masalah itu. Segala penjelasan saya ia redam dengan kata-kata, “Sudah Ig, jangan mengungkit lagi yang sudah lewat. Sekarang kita harus berpikir dan mencari solusi supaya hal-hal ini jangan terjadi lagi.” Sebagai manusia Libra yang menjunjung tinggi keadilan, saya tidak bisa menerima kalimat itu. Auto esmosi jiwa dong. Kok yang salah “dilepaskan” begitu saja sih. (Saat saya menulis ini, rasanya kejadian itu sudah lama sekali, tapi ternyata baru tiga bulan berlalu).

Tak lama setelah kejadian itu, dua kali ia menodong saya, “Ig, kamu pegang Technical ya?” Dan dua kali juga saya menolaknya mentah-mentah. Bahkan pada tawaran yang terakhir, saya langsung melengos meninggalkannya pulang, padahal saat itu ia masih bertanya, “Kenapa sih kamu ngga mau?”

5 September 2023 : segala kekhawatiran saya menjadi kenyataan ketika melihat struktur organisasi yang baru : nama saya nangkring di Departemen Technical dan QA, menggusur mantan atasan saya yang selama ini pegang tiga departemen sekaligus : QA, Technical, dan Produksi. Panik, kesal, marah, semua jadi satu. Bersyukurlah departemen ini kedatangan wajah baru : teman seangkatan yang selama ini sudah jungkir balik di Dept. Produksi. Mungkin karena melihat wajah saya yang sudah tak karuan ekspresinya, usai meeting si plant head baru ini segera memanggil saya dan teman seangkatan saya itu. Dan keluarlah kisah Thailand itu.

Saya tidak tahu apa yang membuat ia terkesan pada saya di perjalanan itu. Kala itu kami berdua terbang ke Bangkok untuk menemui customer yang komplain. Harusnya kami bekerja selama tiga hari, aktualnya kami hanya bekerja di hari pertama. Sisanya? Si bos melepas saya jalan-jalan sendirian. Jujur saya sudah tak ingat setiap detail yang terjadi saat itu. Diomeli customer? Nggak juga sih, cuma saya sempat jiper saat menghadapi Senior QA Manager mereka. Untungnya si senior manager juga nggak fasih berbahasa Inggris, jadi semua keluhan disampaikan oleh dua anak buahnya yang sudah dekat dengan bos saya (memang benar apa yang sahabat saya katakan, si bos ini “orang marketing” yang mulutnya manis). Jadi, meskipun kami harus dijemur untuk inspeksi di pelabuhan dan diangkat forklift untuk mengecek sisi atas kontainer, sama sekali tidak ada rasa terintimidasi. Mungkin karena saya tahu, ia tak akan meninggalkan saya sendirian sejak ia berkata, “Welcome to Bangkok, Igna..” Mungkin karena saya menyadari bahwa ia ingin mendekatkan jarak, sejak ia mengajak saya sharing makan malam.

“Ig, maaf ya, saya suka ngomelin kamu.” Lima hari sebelum ulang tahun saya ke-38, saya duduk jaim di kursi depan mobilnya. Dan mungkin karena ia mantan bos marketing, ia berhasil memancing saya cerita panjang lebar. Tentang penyesalan saya beli rumah, tentang tetangga reseh, tentang papi yang pernah kena serangan jantung, tentang mengapa saya tidak ingin ada di Technical, dan banyak hal yang tanpa saya sadari mengalir begitu saja. Ketika saya turun dari mobilnya, saya terheran-heran sendiri mengapa saya bisa sebocor itu. (Lagi-lagi saya harus menyetujui kata-kata sahabat saya tentang “Si Mulut Manis”).

Ia sendiri hanya bercerita tentang perjalanannya ke Pahawang dan Curug Putri (“Padahal kalau kamu nggak cuti, saya pingin ajak kamu lho, Ig..”). Tolong jangan membuat saya berharap macam-macam, Pak..

Setelah momen pulang bareng itulah, pandangan saya berubah 180 derajat tentang dia. Manusia keras kepala ini akhirnya bisa melunak, bisa nurut meskipun harus merayap dan minta bantuan sana-sini kalau si bos tanya ini itu. Saya pun mulai mengingat kembali perjalanan saya bersamanya selama enam belas tahun terakhir (yes, exactly sixteen years).

Perjalanan ke Bangkok hanyalah satu slice berukuran sedang. Slice yang lebih besar adalah ketika pertama kali ia menginterview saya dan kemudian memberikan pesan “harus fleksibel seperti rubber” pada saat saya diterima kerja. Slice-slice kecil lainnya adalah bagaimana ia selalu bisa membesarkan hati saya dan membuat saya terharu dalam banyak kesempatan.

Akhir-akhir ini ada banyak hal yang terjadi di pabrik, dan sebagian besar bukan hal yang menyenangkan. Saya yang biasanya “sebodo amat” mulai berpikir apa yang bos saya rasakan. Mulai berpikir ingin memberikan yang terbaik supaya ngga mengecewakan dia. Mulai merasa takut. Takut ia pergi dan digantikan oleh orang lain. Mulai merasa bersalah sudah banyak membuatnya kecewa.

Tiba-tiba saya merindukan caranya memandang mata saya saat meeting. Caranya memanggil saya “Ig”. Caranya mengajak saya masuk ke percakapan dengan cara sederhana dan kadang bikin orang lain salah paham (Seperti ketika dia nyeletuk di tengah meeting : “Itu lho Ig, yang waktu itu kita kesana berdua”. Saya paham ia tengah menceritakan saat kami kunjungan ke customer di Cileungsi. Tapi entah apa yang orang lain pikirkan?). Saya mulai khawatir saat dia bilang sakit kepala. Dan saya mulai merasa kehilangan ketika seharian tak menerima pesannya (padahal seringnya malah ditanyain kerjaan) dan ketika seharian tak bertemu dengannya (padahal kalau ketemu juga ujung-ujungnya meeting bikin pusing). Saya mencari kembali kenangan perjalanan kami ke Bangkok dan menemukan peta dengan coretannya, bag tag atas namanya (saya baru sadar bahwa bag tag yang ditempel di tas saya sebetulnya milik dia) dan tiga label bagasi milik kami berdua.

Pada suatu siang yang terik, sambil menenteng sebungkus nasi Padang, saya melangkah masuk ke gerbang pabrik sambil tanpa sadar mengeluh, “Tuhan mengapa perasaan seperti ini selalu membuatku lelah?”

Uncategorized

Blusukan di TPU Cipaku Lama

“Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa penasaran.”

Kalimat itu disampaikan oleh seorang bapak di Sebatik kala saya ngotot ingin melihat perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik. Perkataan itu sering saya jadikan “pembenaran” kala saya ingin tahu ini itu, bahkan sampai pada taraf ngotot. Termasuk kala mencari makam para pastor di TPU Cipaku Lama.

Sekitar delapan tahun yang lalu di grup facebook Bogor Heritage, saya dan seorang admin yang bernama Pak Nugroho Mulyo sering bertukar kisah tentang Vincentius Gesticht yang gedungnya tepat berada di depan gereja Katedral Bogor. Siapa sangka ketika hendak nyekar ke makam emak dan engkong di Cipaku Lama, saya menemukan sebuah nisan berwarna putih dan bertuliskan :

Pastoor Herman van Meerwyck

Directeur van het

Vincentius Gesticht Te Buitenzorg

Geb : 5 Februari 1877

Overl : 18 September 1919

Temuan itu lantas tenggelam begitu saja ketika pembahasan tentang Vincentius Gesticht memudar dari grup.

Hingga tujuh tahun kemudian.

Pada suatu Sabtu sore, pertengahan Juli 2021, saya mendapatkan “kejutan” dari Romo Agustinus Surianto Himawan (Romo Agust). Beliau sedang menulis buku tentang sejarah Katedral Bogor. Wow, saya excited banget, mengingat selama ini sumber sejarah Katedral Bogor hanya dari buku 50 Tahun Keuskupan Bogor yang terbit tahun 1998. Apalagi ketika Romo Agust menunjukkan potongan koran digital Het Nieuws van den Dag tertanggal 13 Februari 1905. Merinding kan?

Nah, momen itu melahirkan kembali rasa penasaran saya, bahkan dalam ukuran yang lebih besar daripada sebelum-sebelumnya. Apalagi Romo Agust berhasil membuat saya mengubek-ubek dunia maya untuk menemukan kisah masa lalu tentang Katedral dan sekitarnya.

Salah satu yang kecipratan rasa penasaran saya itu adalah makam Pater Meerwijck di Cipaku Lama.

Kala badai covid agak mereda pada Oktober 2021, saya kembali nyekar ke makam emak dan engkong. Kali ini sambil membawa misi khusus, yakni menemukan kembali makam Pater Meerwijck. Puji Tuhan, dengan bermodal foto tahun 2014 saya bisa menemukannya kembali, meski nyaris seluruhnya tertutup rumput liar.

Saya meminta tolong pada ibu-ibu yang biasa mengurus makam-makam disana untuk membersihkannya. Awalnya mereka enggan karena khawatir bentrok dengan pihak yang mengurus makam Pater Meerwijck. Tapi ketika saya bilang ini makam orang Belanda dan setelah mereka melihat kondisinya yang amat memprihatinkan, akhirnya mereka bersedia membersihkannya dengan sangat cekatan.

Sampah-sampah hasil tebasannya hanya mereka pindahkan ke bagian belakang makam. Betapa kagetnya kami, karena ketika makam Pater Meerwijck sudah bersih, kami malah mendapati nisan kecil bertuliskan “Jansenn” persis di depannya. Saya sempat panik, jangan-jangan makam Pater Meerwijck ini sudah hilang dan hanya menyisakan nisannya saja?

Salah satu ibu kemudian mengecek ke sisi belakang makam dan menemukan bahwa ternyata makam beliau yang sebenarnya terletak di bagian belakang nisan putih itu. Jadilah para ibu itu berpindah ke sisi makam yang benar, mengulangi proses pembersihannya dan memindahkan sampah-sampahnya ke posisi semula.

Makam Pater Herman van Meerwijck, November 2021

Bagian depan makam Pater Meerwijck

Nisan asli yang berada di sisi belakang makam.

Lho?

Jadi begini ceritanya. Pada 1 Januari 1992, sekelompok umat dari Paroki St. Fransiskus Asisi Sukasari merenovasi makam beliau dan makam beberapa pastor dan bruder di TPU ini. Nisan baru dipasang pada makam-makam ini dan nisan lamanya dilekatkan di bagian belakangnya sebagai pengingat.

Jadi selama tujuh tahun saya salah mengasumsikan mana bagian depan dan belakang makam beliau. Dan selama tujuh tahun pula saya salah berasumsi bahwa beliau seorang Fransiskan. Padahal beliau ini adalah seorang Jesuit.

Saya kemudian memposting temuan ini ke grup Bogor Heritage pada Maret 2022 dan memunculkan komen dari Pak Purnama Wahyudi, salah seorang yang turut dalam renovasi makam tahun 1992 bersama Romo Agust dan Pak Ferdinand Ong. Mereka ingat kala itu merenovasi makam dari Pater Van Vliet, Pater John Ma’mun, Pater Felix Bos, dan Pater Camilus S Tjiptokusumo.

Tentang Pak Purnama Wahyudi ini pun ada kisah menarik. Rasanya nama dan foto profil beliau tidak asing bagi saya. Sepertinya beliau ini adalah tokoh legioner di paroki Sukasari dan di Komisium Bogor. Ketika rasa penasaran mulai membakar, akhirnya saya nekad menjapri beliau. Nah.. benar kan.. beliau selama ini saya kenali sebagai Pak Angelo Wahyudi. Benar juga beliau pernah menjadi ketua Kuria Bintang Timur – Bogor (sebelum menjadi Komisium Bogor) pada tahun 1988-1991.

Awal Mei 2022 yang bertepatan dengan libur Lebaran, saya akhirnya nekad mencari empat nama yang disebutkan oleh Pak Angelo itu. Bermodal coretan di kertas saya siap bertempur menjelajah setiap sudut TPU Cipaku Lama. Saya berasumsi bahwa makam mereka ini terletak di bagian tengah TPU di sekitaran makam Pater Meerwijck, atau di sisi paling kanan TPU (jika dilihat dari taman Perumda) karena kongcoh saya yang meninggal tahun 70an dimakamkan di lokasi itu. Tapi untuk memastikan, saya menyisir TPU dari ujung ke ujung.

Rasa penasaran yang tidak dilengkapi data yang valid hanya akan berakhir sia-sia. Selama tiga jam saya berkubang dengan rumput gajah yang tajam dan nyamuk kelaparan, tanpa berhasil menemukan satu makampun. Saya malah menemukan makam Engkong Akuh (kakak laki-laki dari Oma), Tante Poppy (sepupunya mami yang meninggal saat covid sedang ganas-ganasnya hingga kami tidak pernah tahu lokasi makam beliau), dan teman SMP saya yang meninggal tahun 1999.

Hingga akhirnya seorang bapak mendekati saya. Beliau memperkenalkan dirinya sebagai Pak Akong. Coret-coretan saya difotonya dan beliau berjanji akan mencarikan makam-makam itu di buku besarnya. Ya sudahlah, akhirnya saya hanya bisa pasrah menunggu hasil pencarian beliau. Apalagi saat itu saya sudah keringat dingin kelaparan 🤣.

Beliau berhasil menemukan makam Pater Van Vliet dan Pater Tjiptokoesoemo hanya dalam waktu beberapa jam saja. Foto kedua makam itu dikirim ke WA dan membuat saya nyengir lebar. Syukurlah makam-makam ini ternyata masih ada. Beliau bilang tidak bisa menemukan makam Pater John Ma’mun dan Pater Felix Bos. Akhirnya saya dengan malu-malu bertanya ke Pak Angelo, dan barulah saya tahu, kedua makam Pater Fransiskan itu sudah dipindahkan ke TPU Kalimulya antara tahun 1997-1998. Tepok jidat.. 🤣🤣

Kiriman Pak Akong : Makam Pater Van Vliet (sisi belakang). Terlihat rumput di depannya baru saja dipangkas.

Kiriman Pak Akong : Makam Pater Tjiptokusumo (sisi depan)

Moral of the story : penasaran boleh.. tapi jangan sotoy, apalagi kepedean.. 🤣🤣

Awal November lalu saya kembali ke TPU Cipaku Lama. Tak lupa saya janjian dengan Pak Akong untuk minta ditunjukkan makam Pater Van Vliet dan Pater Tjiptokusumo. Dan akhirnya.. rasa penasaran berbulan-bulan langsung terpuaskan di hadapan makam beliau berdua 😍.

Makam Pater Van Vliet (sisi depan)

Makam Pater Camillus Tjiptokusumo

Makam Pater Camillus Tjiptokusumo

Pater Camillus Sutadi Tjiptokusumo

Lagi-lagi ada kisah aneh, kali ini tentang Pak Akong. Saya kaget karena beliau tahu nama Cina dari engkong saya (Yap) padahal di makam engkong hanya ditulis nama Indonesia saja. Beliau juga tahu engkong saya pernah narik bemo. Akhirnya saya pertemukan saja beliau dengan mami, barulah cerita mereka tentang engkong bisa nyambung. Jadi ternyata dulu engkong sering diminta untuk menyopiri pegawai agraria yang hendak survey atau ukur tanah. Nah Pak Akong ini sering ikutan juga dengan mereka. Pak Akong juga kenal dengan besannya engkong yang tinggal di Kedung Halang. Lah.. betapa sempitnya dunia. Tapi kok beliau bisa tahu sih makam engkong? Kok bisa tahu saya baru saja nyekar? Padahal kami kan janjiannya di depan makam Pak Silaban dan bukan di depan makam engkong? 🤔

Uncategorized

Selamat Pulang ke Surga, Tuape Romo..

“Romo.. Terima kasih ya..

Selamat hari Minggu”

Pesan itu saya kirim pada Minggu pagi, 20 November 2022 pukul 08.02. Pesan itu adalah jawaban atas ucapan selamat pagi dari Romo Frans Mulyadi yang masuk ke whatsapp saya pada pukul 05.52, sekaligus juga berterima kasih atas kiriman broadcast doa untuk keselamatan dari COVID-19 yang beliau kirim pukul 06.35 .

Centang dua abu-abu tak kunjung berganti menjadi biru. Tak ada rasa curiga atau pikiran negatif. Saya pun menutup whatsapp dan melanjutkan aktifitas pagi itu.


Sejak bulan Oktober tahun lalu, tepatnya sejak kami tahu nomor whatsapp masing-masing, Romo Frans rutin mengirimkan ucapan selamat pagi dan selamat malam. Tak jarang juga beliau mengirim klip lagu nostalgia, doa, renungan, broadcast info-info, dan juga gambar-gambar jenaka. Biasanya saya hanya menjawab seadanya, kadang hanya dengan gambar atau stiker yang setema. Kadang saya malah lupa menjawab pesan beliau. Dan ternyata ini menjadi penyesalan di kemudian hari.



Kembali ke rutinitas Minggu pagi.

Saya sedang bersiap-siap untuk membeli makan di dekat rumah. Setelah makan siang, rencananya saya akan kembali ke Cilegon dengan naik kereta. Tiba-tiba saja mami berseru, “Na, ini katanya Romo Frans meninggal!” Spontan saya berkata, “Nggak mungkin, Mam, tadi barusan kirim selamat pagi..”

Meskipun sangat tidak percaya dengan berita itu, kami dipaksa untuk segera percaya. Bagaimana tidak? Yang mengirim berita itu adalah ibu yang bekerja di sekretariat paroki. Saya yang masih menyangkal segera menelepon ibu itu dengan resiko akan dimarahi karena pasti beliau pun sedang kalut. Ketika telepon tersambung, tangis saya tak bisa ditahan lagi. Ibu sekretaris paroki yang saat itu sebetulnya tengah diare, mendadak sembuh karena kaget dengan kabar duka itu.


Perjumpaan pertama saya dengan Romo Frans sebetulnya sudah cukup lama, sekitar tahun 2011. Kala itu beliau diminta membawakan sebuah sesi dalam rekoleksi Legio Maria di SMK Baranangsiang. Saya waktu itu baru aktif kembali di Legio setelah sekian lama vakum. Ada satu quotes yang masih saya ingat dari beliau, “Legioner itu harus menjaga rahasia supaya jangan sampai setan ikutan nguping..”

Ketika beliau pindah ke Wisma Keuskupan tahun 2012, legioner Katedral mulai rutin berkunjung. Saya tak pernah menyangka bahwa Romo Frans ini begitu hangat dan ramah. Ketika beliau tahu bahwa usianya lebih tua daripada papi saya, beliau berkata, “Kalau begitu, kamu harus panggil aku Tuape ya..” (Tuape adalah panggilan orang Hokkian kepada kakak laki-laki tertua dari pihak ayah). Sejak itulah setiap bertemu saya suka menyapa beliau dengan sebutan “Tuape Romo”. Oh iya, Romo Frans ini sering membahasakan dirinya dengan “aku”, yang membuat tingkat formalitas sedikit menurun dan membuat suasana menjadi lebih santai, seperti tengah berbincang dengan seseorang yang sudah kenal lama.

Kami pernah bertemu beliau secara tidak sengaja ketika mengunjungi seorang umat di dekat Wisma Keuskupan. Beliau yang saat itu tengah sulit berjalan, mengupayakan segala cara untuk mengunjungi umatnya yang tidak bisa pergi ke gereja. Saya tak akan lupa momen itu ketika beliau dipapah oleh frater dan legioner saat hendak pulang.

Setiap kami hendak pulang dari Wisma Keuskupan, beliau selalu menunggu dari balik pintu besi wisma hingga kami keluar dari pagar. Dengan tangan yang bertumpu pada pintu, beliau melambaikan tangan sambil tersenyum hangat. Hal sederhana itu ternyata menjadi kenangan yang melekat pada setiap orang yang pernah berkunjung ke Wisma Keuskupan.


Satu tahun terakhir adalah masa-masa yang teramat sulit bagi saya. Ada banyak masalah yang harus saya hadapi ditambah lagi dengan badai pandemi yang tak kunjung usai.

Oktober tahun lalu ketika badai sedikit mereda dan saya bisa pulang ke Bogor, langsunglah kami sepresidium mengunjungi Romo Frans. Beliau tampak sangat sehat dan energik. Tongkat di tangannya seperti hanya penghias saja karena beliau bisa berjalan dengan lincah. Pertanyaan beliau saat melihat saya adalah, “Marina masih aktif Legio kan?” Ketika mengetahui bahwa saya lebih banyak menghabiskan weekend di Cilegon, beliau menanyakan pula, “Di Cilegon ada gereja kan? Disana Marina ikut misa kan?” *air mata langsung mengalir saat menulis ini.

Sore itu kami mengobrol dengan asyik sampai lupa waktu. Beliau bercerita tentang masa kecilnya dan keluarganya yang jauh dari kata cukup, masa-masa tugas di Filipina yang lumayan panjang. Bagaimana beliau dengan keterbatasan bahasa mencoba memahami saat menerima pengakuan dosa dari anak-anak berbahasa Tagalog. Sore itu beliau mengajarkan saya tentang niat baik yang malah sering dipandang negatif oleh orang lain. *mewek lagi..

Sejak hari itulah kami rutin ngobrol lewat whatsapp. Saat hari begitu berat dan rasanya sudah tak tahan lagi, saya sering mengadu pada beliau. Kadang saya gemas karena jawaban dari beliau biasanya sangat rohani dan disertai dengan kata-kata doa sederhana. Saya yang manusia teknik ini sering lupa bahwa orang yang menasehati saya ini adalah seorang Pastor senior yang sangat religius. Kadang saya suka berpikir begini, “Ah.. Si Romo mah ngga ngerasain sih.. ” Tapi kemudian saya menyadari (meski agak terlambat), bahwa ketika saya sebagai manusia sudah mentok tak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya kepada Tuhanlah saya harus menyerahkan semuanya.


Rasa tak percaya atas kabar kepergian beliau itu akhirnya harus saya terima dengan rela. Teman-teman Legio mengirimkan foto-foto terakhir beliau yang seperti tengah tertidur. Damai sekali. Belakangan saya baru tahu beliau ditemukan meninggal sambil memegang buku ibadat harian.

Saya baru melihat jenazahnya seusai Misa Tirakatan pada Minggu malam. Saya menahan diri untuk tidak “menemui” beliau sesaat setelah beliau disemayamkan di Gedung Maria karena saya tengah dimintai tolong untuk menjaga buku tamu dan harus mondar-mandir kesana kemari. Saya ingin sendirian saja menemui beliau dengan tenang dan ternyata kesempatan itu tak pernah datang. Bersama keluarga dari seorang kawan, saya berdoa di hadapan jenazah beliau. Memegang tangan beliau yang sudah dingin tanpa bisa berkata apa-apa.


“Aku masih mengalami imam membelakangi umat (dalam perayaan ekaristi). Aku dulu jadi pelayan misa sejak kelas 3 SD tahun 1957”

“1955 Aku komuni pertama bulan Mei terus sakramen penguatan bulan November. Kelas 1 SD”

Tanggal 1 November 2022. Hari Senin pagi yang ngantuk. Entah kenapa tiba-tiba saya ingin menggali memori beliau tentang Katedral Bogor. Saya kirimkan foto jadul gereja Katedral dengan interiornya yang dicat sangat cantik. Lalu keluarlah kisah-kisah beliau lewat chat-chat singkat.

“Dulu sudah ada kaca (patri) di belakang altar tapi polos tidak pake gambar2 Yesus.”

Saya yang kepo lantas bertanya tentang kapan kaca itu diganti, dan ternyata beliau masih ingat.

“Tahun 62 sesudah dijadikan katedral oleh uskup Geise yg diangkat jadi uskup Bogor tahun 62.”

Kami lalu membicarakan tentang Pater Paulus Lie Ka Kwi, OFM. Conv yang adalah paman beliau. Pater Paulus kini bertugas di Jerman dan setelah covid masih belum bisa pulang ke Bogor.

Obrolan ini terputus menjelang tengah hari dan bersambung satu minggu kemudian kala saya bertanya lagi tentang Katedral.

“Aku dibaptis 25 April 1948 oleh Pater Leenders, OFM. Conv.”

Saya kirimkan foto Pater Leenders yang saya peroleh dari Mbah Google. Dan beliau menjawab : “Betul dia masih muda sekali ya. Sekarang sudah di surga..”

Pada percakapan hari itu, beliau minta dicarikan berita tentang Pater Paulus Lie Ka Kwi. Saya mencoba mencarikan di dunia maya, termasuk mengirimkan video yang dibuat oleh Romo Agust Surianto kala Pater Paulus pulang ke Bogor. Itulah percakapan panjang kami yang terakhir sebelum beliau menyusul Pater Leenders ke surga, sebelas hari kemudian.


Saya duduk sendirian di kursi paling pojok kiri belakang, tepat di depan patung Pieta yang menggambarkan hancurnya hati Bunda Maria saat menerima jenazah Yesus di pangkuannya. Berkali-kali saya harus menyeka air mata kala memandangi bagian dalam Katedral. Saya membayangkan Romo Frans kecil yang menjadi misdinar pada tahun 1957. Mungkin ia juga pernah takjub dengan keindahan gereja ini. Mungkin ia juga pernah memandangi kaca patri di belakang altar yang warnanya semakin indah kala matahari meninggi. Air mata semakin tak tertahan kala mendengarkan homili Romo Agust yang terasa begitu personal dari seseorang yang sangat mengenal almarhum. Sepertinya Romo Frans juga sedang tersenyum mendengarkan sambil memandangi cahaya Ilahi bersinar menembus kaca-kaca patri di belakang altar.

Pagi itu, diiringi dentangan lonceng Katedral sambil diselimuti cerahnya matahari, Romo Frans Mulyadi diantar meninggalkan Katedralnya dan tak akan kembali lagi.


Kata-kata “Andai saja” berkali-kali terlontar dari bibir kawan saya. Ia dan suaminya sempat mampir ke Wisma Keuskupan dan bertemu dengan Romo Frans pada Sabtu Sore. Ia menyesal mengapa tak lebih lama mengobrol dengan beliau.

Ia pun menyesali berbagai niat dan rencana yang belum terlaksana.

Saya pun berulang kali mengucap “Andai saja” di dalam hati.

Sabtu sore itu entah mengapa saya merasa malas untuk ikut misa sore di Katedral. Ingin misa di Semplak tapi pasti macet karena sedang ada perbaikan jalan. Ingin misa di Sukasari tapi pulangnya jauh banget. Tercetus keinginan untuk menelepon Romo Frans untuk request misa bersama beliau di keuskupan. Akhirnya saya urungkan niat itu takut mengganggu dan merepotkan beliau.

Andai aja saya mampir ke Wisma Keuskupan usai mengurus perpanjangan paspor akhir September lalu. Jarak kanim Bogor begitu dekat dengan Wisma tapi saya menunda-nunda untuk mengunjungi beliau.

Ah.. andai saja…


Postingan ini dimulai dengan mata yang kering dan diakhiri dengan mata sembab. Padahal Romo Frans pernah berpesan :

“Ulah ceurik neng, nanti bisa tambah geulis lho!”

Selamat pulang ke surga, Tuape Romo Frans Mulyadi..

Uncategorized

Dulu..

Dulu kala, ada seorang pemuda baik hati. Ia memperkenalkan dirinya sambil memberikan kursi yang sedang ia duduki pada seorang gadis. Sebuah kebaikan kecil, yang tanpa pernah ia sangka berdampak begitu besar bagi gadis itu.

Si Gadis selalu mengingat kenangan itu dalam hatinya. Begitu terobsesi hingga ia melakukan hal-hal yang begitu berani, yang tak pernah ia pikirkan, bahkan tak pernah berani ia bayangkan sebelumnya. Hingga bertahun-tahun berikutnya ia selalu merasa malu atas segala kenekadannya.

Setiap tanggal 4 Oktober, gadis itu selalu duduk di bangku paling belakang gereja. Ia tahu si pemuda akan hadir misa pada pagi itu. Penantiannya tidak sia-sia. Pemuda itu selalu ada, duduk di deretan paling kiri. Sayang kebiasaan itu tak bisa dilanjutkan sejak gadis itu masuk kuliah dan si pemuda masuk dunia kerja.

Tahun-tahun berlalu, media sosial menjamur. Mereka menjadi kawan di dunia maya. Beberapa kali saling sapa dan berkirim komentar. Di dunia nyata mereka tak bisa saling memandang karena si gadis selalu memalingkan wajah. Sebetulnya ia rindu memandang mata pria itu seperti saat pertama mereka berjumpa. Tapi gadis itu merasa malu dengan masa lalunya, hingga ia kehilangan keberaniannya.

Lebih dari dua puluh dua tahun berlalu sejak pemuda itu mengulurkan tangannya kepada gadis itu. Meski tempat mereka berjumpa telah berganti dengan gedung yang lebih megah. Meski waktu berlalu dan mengubah banyak hal, namun ternyata kenangan itu tetap tinggal, setidaknya dalam benak gadis itu.

Hari ini, 4 Oktober, si gadis memandangi wajah pemuda itu di laman medsosnya karena mendadak diserang rindu. Sejak pandemi merebak ia tak pernah berjumpa pemuda itu lagi di gereja. Betapa ia berharap tengah duduk di kursi paling belakang gereja dan menunggu pemuda itu muncul di misa pagi seperti dulu kala.

Uncategorized

[Catatan Srei] Just A Monday

Pagi ini saat sedang berselancar di Instagram, saya menemukan postingan @mangmoel dan jadi ngeh bahwa lagunya Tulus “Hati-Hati di Jalan” sudah ada video klipnya. Si Asam dan Si Garam dalam video klip itu adalah karya kerennya @mangmoel. Video klipnya jempolan, cocok banget dengan liriknya yang mengiris-iris hati (tinggal dijadiin sate aja deh).

Gara-gara video klip itu, hari ini saya sudah berkali-kali mereplay lagu itu, yang akhir-akhir ini dinobatkan sebagai lagu patah hati se-Indonesia. Ngga, saya ngga lagi patah hati kok.. Tapi entah mengapa saya sempat mbrebes mili berkali-kali.

Sore ini lagu itu membawa saya pada sebuah kenangan sekian tahun yang lalu, tepatnya pada momen tahbisan imamat seorang sahabat. Ketika seluruh rangkaian acara sudah selesai, saya mengantri untuk bisa berfoto dengannya. Ada rasa gamang, campuran dari rasa lapar dan rasa ragu. Saya merasa sendirian di tengah keramaian malam itu. Sempat ingin mundur, keluar dari gereja dan langsung pulang saja. Tapi saya berpikir mungkin itu adalah saat terakhir bisa berjumpa dengannya karena ia akan ditugaskan jauh dari tanah air. Semakin mendekati altar, saya semakin ragu namun tiba-tiba mata kami bertemu dan ia melambaikan tangan. Sebuah sapaan yang membuat saya meleleh seketika.

Tapi sebelum saya bisa mencapai altar itu, ayah dari sahabat saya hendak bangkit dari kursinya dan bersiap untuk keluar dari gereja. Saya lalu mendekati beliau untuk memberikan selamat. Apa yang terjadi berikutnya tak akan pernah saya lupakan. Beliau mengenggam erat tangan saya. Erat sekali, seolah kami sudah kenal lama, padahal saya baru dua kali berjumpa dengan beliau, pada saat sahabat saya tahbisan diakon dan saat tahbisan imamat ini. Beliau lalu menanyakan saya siapa dan kenal dimana dengan putra tunggalnya. Seusai mendengar jawaban saya, beliau malah semakin erat menggenggam tangan saya. Sambil tercekat beliau berkata, “Om sekarang sudah lega. Tugas Om sudah selesai karena si bungsu sudah tahbisan.” Dan saya speechless. Saya hanya bisa menggenggam tangan beliau sambil berpesan agar beliau sehat-sehat selalu.

Ketika akhirnya saya bisa berfoto dengan sahabat saya, mata saya sudah sembab karena terlalu banyak keharuan yang sudah tak bisa ditahan lagi.

Terus apa hubungannya sama lagunya Tulus? Ga ada sih.. Tapi suatu kenangan yang muncul tiba-tiba dalam ingatan sepertnya harus segera dituliskan sebelum kembali (di)lupa(kan). hahaha

Uncategorized

[Cerita Srei] Pater Pruim

Akhir September lalu akhirnya saya bisa pulang ke Bogor, setelah tiga bulan harus bertahan di Cilegon karena pandemi Covid-19 yang sedang ganas-ganasnya. Selain melepas rindu dengan keluarga, ada satu hal yang saya lakukan segera setelah tiba di rumah : membongkar buku-buku tua dan album-album foto koleksi keluarga untuk mencari data dan foto tentang gereja Katedral yang katanya tahun ini berusia 125 tahun, padahal aktualnya (masih) berusia 116 tahun. *Kok selisihnya sampai sembilan tahun ya? Tanya kenapa??!!??

Malam menjelang ulang tahun saya, mami menyodorkan beberapa lembar foto masa mudanya. Mami lalu berkata “Yang baptis aku kan Pater Bule lho…” Dan saya akhirnya menyadari bahwa saya dan mami dibaptis oleh Pater yang sama : Pater J. G. M. Pruim, OFM.

Pembaptisan mami, 2 April 1983
Tebak.. Saya yang mana… 3 November 1985

Kami tahu bahwa Pater Pruim sudah pulang ke Belanda pada tahun 90an. Tapi kami tak tahu bagimana kabar beliau saat ini. Perasaan kami berkata bahwa beliau sudah meninggal, karena beliau sudah lanjut usia ketika membaptis saya pada tahun 1985.

Kemana harus mencari info tentang beliau? Saya mencoba searching di google dan menemukan jejak beliau di website Paroki Paskalis Cempaka Putih. Menurut website itu, beliau bertugas di Cempaka Putih sejak 1956 dan pindah ke Bogor pada 30 April 1968. Sangat sedikit jejak beliau yang berhasil saya temukan di website Keuskupan Bogor. Di bagian sejarah paroki disebutkan kedatangan beliau di paroki Sukasari tahun 1971 dan menjadi pastor paroki Katedral pada 1977.

Saya mencoba mencari nama beliau di website genealogieonline.nl yang pernah diperkenalkan di grup Facebook Bangunan Kolonial kota2 Indonesia. Ada begitu banyak nama keluarga “Pruim”, tapi ada satu nama yang cocok : Johannes Gerardus Maria Pruim. Beliau ini memiliki nama panggilan “Jan”, cocok dengan yang dituliskan oleh Romo Agustinus Surianto Himawan di sini. Beliau juga memiliki nama imamat (mungkin maksudnya nama membiara) Radulfus, agak cocok dengan yang dikisahkan di website Paroki Sukasari ini (meskipun ditulis sebagai Rudolphus). Disebutkan juga profesi beliau sebagai pastor Gereja Katolik Roma. Di website itu juga tertulis bahwa beliau lahir di Amsterdam pada 26 April 1915. Jadi kalau profil ini benar milik Pater Pruim, berarti beliau sudah berusia 70 tahun pada saat membaptis saya.

Kembali pada pertanyaan, “Apa kabar beliau saat ini?” Jawabannya tak ada di mana-mana, bahkan genealogieonline.nl pun masih mengosongkan tahun kematiannya. Jadi apakah beliau masih hidup dalam usia lebih dari satu abad? Ketika sudah hampir putus asa mencari di dunia maya, saya tiba-tiba mendapat ide untuk menanyakan langsung kepada biara OFM di Belanda. Setidaknya ada harapan bahwa seseorang disana bisa mencarikan informasi tentang beliau.

Satu hari setelah ulang tahun saya, akhirnya saya nekad mengirim email kepada Provicialaat Dutch Franciscans untuk mendapatkan informasi tentang seseorang yang menjadi bagian sejarah hidup saya. Dengan Bahasa Inggris yang tak ada nuansa resminya plus very limited vocabulary, saya tak berharap akan dibalas oleh mereka-mereka di Belanda sana.

Tapi ternyata asumsi saya salah. Satu hari kemudian ada email jawaban dari provincialaat. Seorang Pastor bernama Ariejan Kuin, yang adalah sekretaris Provincialaat memberi tahu saya bahwa benar, Pater Pruim sudah meninggal pada 25 Maret 1999. Pater Ariejan juga mengirimkan foto terakhir dari Pater Pruim (tertulis +/- 1997) yang ada di arsip provincialaat.

Kami sekeluarga mungkin tak punya banyak kenangan tentang beliau. Tapi bagaimanapun juga beliau adalah bagian besar dari sejarah hidup kami.

Minggu lalu, buku Tapak Jejak terbit. Konon buku ini disusun dalam rangka 125 tahun Katedral Bogor, padahal usianya baru 116 tahun. Orang pertama di rumah yang membaca buku itu adalah papi, dan papi agak kecewa karena sedikit sekali kisah tentang Pater Pruim di dalam buku itu. Maklum sebagai umat baru Paroki Katedral di tahun 80an, Pater Pruim bisa dibilang legenda sekali dalam hati papi dan mami.

Semalam saya malah menemukan nama pastor J. G. M Truijm dalam buku itu. Nama yang asing dan tak pernah kami sekeluarga dengar selama hampir 40 tahun menjadi umat paroki Katedral . Kami curiga nama Pater Truijm itu tak pernah ada, tapi sebetulnya adalah nama Pater Pruim yang ditulis dengan salah. Padahal Pater Pruim adalah pastor misionaris Belanda terakhir yang menjadi pastor paroki Katedral Bogor sebelum digantikan oleh pastor-pastor asli Indonesia.

Komentar Srei : Semoga tak lama lagi ada klarifikasi bahwa memang benar terjadi kesalahan penulisan nama Pruim menjadi Truijm.

Uncategorized

[Catatan Srei] Calon Tetangga

Postingan ini isinya hampir 100% keluh kesah. Bagi yang nggak kuat mental, mending gak usah baca deh. Apalagi buat yang cuma mau bilang, “Yang waras ngalah”. Kalau selamanya yang waras ngalah, bumi ini isinya cuma orang-orang ga waras aja, dan orang waras akan punah karena selalu menjadi korban.

Sudah hampir dua tahun sejak saya pindah ke rumah sendiri di Cilegon ini. Setelah berpindah dari kosan pertama ke kosan kedua, lalu tinggal di mess pabrik selama sembilan tahun (dan sempat berpindah dua kali juga), akhirnya saya memutuskan untuk beli rumah meskipun harus pakai KPR selama sepuluh tahun. Perjalanan bersama rumah ini memang tidak mulus, apalagi rumah ini belum diberkati karena terkendala pandemi, tapi saya merasa cukup nyaman tinggal di dalamnya walau hanya bersama dengan seekor kucing dan berbagai jenis tanaman di halaman.

Hingga Negara Api menyerang (wkwkwkwk)

Nah, ketika saya hendak menutup tanah belakang rumah, untuk mencegah buangan air dari tetangga belakang ke arah rumah saya, terpaksalah saya yang harus ngalah : bikinin talang bersama untuk rumah saya dan rumah belakang dengan pipa buangan di rumah saya. Cara ini ternyata tidak efektif. Rumah saya terus-menerus bocor berat sementara tukang dari developer sudah tidak respon ketika kami komplain.

Sebelum cerita Negara Api, saya mau cerita dulu tentang rumah saya yang antik. Rumah saya hanya berukuran 30/ 60. Mungil kan? Bagian belakangnya masih terbuka dan belum ada dapurnya. Sebelum saya pindah, bagian belakangnya ditutup untuk dijadikan dapur. Supaya jangan sumpek, sebagian atap rumah saya diganti dengan fiber. Ini juga bertujuan untuk mengurangi pemakaian listrik pada siang hari. Masalah pertama muncul karena rumah di belakang rumah saya tidak punya talang air hujan. Memang developer perumahan ini tuh bisa dibilang parah banget. Deretan rumah di belakang  rumah saya dibangun lebih dulu daripada deretan rumah saya. Rumah-rumah ini tidak dilengkapi talang dan pembuangan air hujan, sehingga air dari atap rumah-rumah belakang langsung jatuh ke tanah kosong, yang saat ini berubah jadi rumah saya dan tetangga sederetan. Ketika deretan rumah kami dibangun, developer juga tidak membuatkan talang untuk rumah-rumah yang di belakang, jadi rumah sederetan saya semua mengeluh masalah rembes, bocor, dan kawan-kawannya (yang saya ketahui setelah pindah). Asli berasa ditipu banget ya.

Ketika saya curhat ke bos, si bos memberikan solusi dengan membawakan tukang bangunannya. Rumah saya ditambah dua talang lagi untuk atap dan fiber. Ternyata solusi ini efektif. Sejak September 2020 rumah saya nggak pernah bocor lagi walau hujan badai sekalipun.

Hingga Negara Api menyerang.

Pada suatu petang menjelang akhir Agustus 2021, hujan turun lumayan deras. Saya baru pulang kerja menjelang Magrib dan berdiri tercengang mendapati tembok pembatas saya dengan tetangga sebelah yang sudah rontok sebagian. Rupanya rumah sebelah kiri saya (yang adalah rumah paling pojok) akan direnovasi.

Oh ya, dulunya rumah saya adalah yang terakhir dibangun, nyempil di antara dua rumah existing yang sudah bikin tembok pembatas duluan. Developer mensyaratkan tidak boleh meninggikan tembok pembatas yang sudah ada, tapi dua tetangga ini sudah meninggikannya ketika saya membangun rumah ini. Supaya nggak mengganggu pemandangan, akhirnya tembok tetangga yang menghadap rumah, saya plester dan cat.

Nah, memang si calon tetangga ini nggak salah membobol tembok yang adalah miliknya. Tapi yang bikin saya kesal adalah, dia memindah-mindahkan pot tanaman saya yang posisinya ada di depan rumah saya dan tidak melewati batas rumah dia. Ya, saya tahu, pot-pot itu memang harus dipindahkan untuk memudahkan transportasi bahan bangunan. Tapiiiiiii… ada satu pot pohon merambat yang dipindahkan begitu saja, hingga batang pohonnya terputus. Lalu yang lebih mengesalkan lagi, si calon tetangga itu menumpuk pasir di jalanan depan rumah dan sudah memasuki batas rumah saya. Wah, ini yang bikin saya emosi. Bukankah setidaknya dia harus minta izin dulu ya?

Hari Minggunya, datang satu truk besar dan berhenti di depan rumah saya. Tanpa sepatah katapun, tukang-tukang mulai menurunkan batu-bata di jalanan depan rumah saya. Karena kesal, akhirnya saya tolak dengan tegas. Makin lama kok makin menjadi-jadi sih. Padahal di sisi kiri rumahnya kan ada tanah kosong, dia bisa menaruh materialnya disitu.

Sabtu berikutnya. Saya janjian dengan teman saya yang kerja di Gramedia Cilegon. Happy banget rasanya. Tapi rasa happy itu berubah jadi amarah ketika pulang. Salah satu tukangnya si calon tetangga itu lagi cuci mobil tepat di depan rumah saya. Saya cuekin kan, trus berkali-kali saya keluar masuk rumah, dia jojong bae nyuci mobil. Lah kan kaga sopan banget, udah gitu kaga ada basa-basinya pula. Bilang apa kek gitu. Minta izin kek.

Minggu berikutnya. Si calon tetangga ngecor dak rumahnya pakai coran manual yang bunyinya bikin semua makhluk menyingkir. Hari Minggu cuy.. Pas siang-siang mendadak ada bau rokok dari depan rumah, pas saya buka gorden, ternyata tukang-tukang semua lagi nongkrong sambil ngerokok di garasi rumah saya. Udah gitu tatakan pot saya digondol buat jadi asbak. Well, buat orang lain ini mungkin bukan masalah besar. But buat saya yang tinggal sendirian, ini jadi momen yang sangat mengerikan. Puncaknya terjadi pada pk 22.30, masih di hari Minggu itu. Ketika saya mau masuk kamar mandi, saya menyadari keset saya basah kuyup. Ketika pintunya dibuka, dari keempat sudut kamar mandi saya sudah mengalir air lumayan deras. Malam Senin, besoknya kerja, dan harus ngedepin kondisi kayak begini.

Akihrnya malam itu saya ngamuk. Sengamuk-ngamuknya. Dan semakin mengamuk ketika seorang tukangnya masuk ke rumah saya dan bilang “Ini ga masalah, kan situ gak tidur di kamar mandi” dan “ Ya, maklumin aja Bu, kan kita lagi ngebangun” HELOOOOOOOOOO…

Bukannya minta maaf, kepala tukangnya (yang waktu itu nyuci mobil di depan rumah saya) malah marah-marah, katanya selama ini mereka nyari-nyari saya tapi saya nggak mau nemuin. Kan tetangga saya yang lain udah bilang, saya kalau pulang kerja selalu habis magrib. Dan tukang-tukang itu juga pada tau, saya Sabtu Minggu ada di rumah. Masa saya nggak boleh tutup pintu padahal di luar debunya dah kayak gurun pasir? Trus waktu itu papasan pas doi cuci mobil di depan rumah saya kan? Kenapa ngga ngomong apa-apa? Kalau punya itikad baik, walaupun saya nggak kelihatan di rumah, kan bisa tanya nomor telpon saya.

Dah gitu si tukang masih ngomel-ngomel katanya talang saya ada yang lewat ke arah rumah dia. Saya yakin banget, talang saya nggak ada yang lewatin rumah dia (dan ini diklarifikasi oleh orang developer beberapa hari yang lalu, yang lewat batas itu bukannya talang, tapi bonet (karpet talang). Ukurannya kurang dari 10 cm. Developer juga sudah menyuruh si calon tetangga untuk mengkomunikasikannya dengan saya). Saking kesalnya saya bilang, kalau lewat yang potong/ tutup saja.

Lalu saya bilang, saya ngga mengizinkan dia bongkar material di depan rumah saya. Eh dia malah bilang, “Emang situ udah beli jalanan ini?” Harusnya waktu itu saya jawab juga, “Emangnya situ juga udah beli jalan ini?”

Malam itu berakhir ketika ada satu tukang senior yang berjanji mau tanggung jawab dengan kebocoran saya. Saya cuma bisa terjaga semalaman karena hujan turun dengan deras malam itu, hingga membuat lampu kamar mandi saya koslet.

Senin datang. Nggak ada tanda-tanda calon tetangga akan tanggung jawab. Tukangnya juga ngilang semua. Saya minta tolong satpam komplek untuk melihat ke atas dan mencari tahu penyebab kebocoran di kamar mandi saya. Ternyata masalah muncul ketika dia merobohkan tembok bagian atap di sisi rumahnya, lalu ngecor dan menyiram cor-corannya dengan air. Sisa tembok atap di sisi rumah saya hanya susunan bata tanpa plester. Ya jelas lah ketika diairi pasti akan masuk ke rumah saya.

Tapi ada kejadian baik hari itu. Tanpa sepengatahuan saya, Pak RT menelepon si calon tetangga untuk memundurkan semua materialnya supaya jangan ada yang ditaruh di depan rumah saya.

Selasa datang. Akhirnya saya menghadap pak RT untuk pinjam satpam untuk memplester tembok atap saya. Pak RT menghubungi si calon tetangga. Barulah mereka datang ke rumah, minta maaf. Tembok saya diplester dan rumah saya nggak bocor lagi. Dia minta izin untuk memotong talang saya yang lewat (bukan minta izin sih, lebih tepatnya menginformasikan. Wong dia udah beraksi  kok).  Saya pikir setelah masalah ini selesai, semuanya akan baik-baik aja. Tapi saya salah.

Seminggu kemudian hujan deras sejak dini hari. Dapur saya yang sudah aman damai bebas bocor selama setahun mulai kebocoran. Saya komplain lagi ke si calon tetangga, ternyata dia lagi di Indramayu untuk selamatan 4 bulan istrinya. Saya menemui tukangnya dan ternyata di atas rumah dia juga banjir sebetis. Ya udah lah saya ngalah aja deh. Toh ada tetangga juga yang bilang, nanti setelah temboknya naik juga saya nggak akan kebocoran lagi.

Menjelang berakhirnya bulan Oktober, si calon tetangga minta izin by WA. Tukangnya mau finishing tembok yang ke arah rumah saya. Mereka membangun steger-steger dari bambu. Mulai deh derita saya. Fiber saya kejatuhan adonan. Titik bocor di dapur mulai bertambah dan semakin deras. Saya minta ke si calon tetangga untuk membersihkan fiber itu, sampai dua kali, dan hasilnya malah fiber saya bengkok ke dalam, bahkan salah satunya pecah dan dilem asal jadi.

Exif_JPEG_420

Hujan deras sudah beberapa kali terjadi. Jujur saya ngeri karena dari bunyinya saja saya tahu ada material-material yang terbawa jatuh ke atap rumah saya setiap hujan.

Hari Minggu akhir November. Saya baru saja pulang dari Bogor dan memergoki ada tukang yang sedang berdiri dengan manis di atas genteng saya. Bukan itu yang bikin saya marah, tapi dia sedang membuat kanopi di atas jendela yang menghadap ke arah rumah saya. Dari segi etika aja, ni manusia kaga punya etika, karena sudah membangun jendela ke arah rumah dan pekarangan orang lain. Lalu dari segi resiko, dengan membangun kanopi di atas jendelanya, dia sudah melewati batas rumah saya dan jatuhan air hujan dari kanopi itu akan jatuh langsung ke atas genteng saya. Rasanya udah pengen lempar granat aja.

Exif_JPEG_420

Saya protes ke si calon tetangga, dan dia janji akan diperbaiki. Karena jawabannya begitu, saya jadi emosi dan bilang bahwa saya minta itu diratakan, bukan hanya diperbaiki. Saya lapor ke Pak RT juga supaya jangan sampai terjadi labrak-labrakan lagi. Pak RT bilang, kalau saya tarik garis lurus ke atas dan kena kanopi itu, berarti saya berhak protes.

Sore itu, ketika saya berdiri di depan rumah tetangga seberang serong saya, barulah saya ngeh ternyata di balik atap saya sudah ada kanopi semenan yang sudah jadi. Emosi gak sih?

Tuh ada kanopi di sisi belakang yang terhalang atap rumah saya.

Senin datang, kanopi belum dibongkar. Selasa juga belum. Saya follow up lagi si calon tetangga saat saya pulang kerja. Dia janji hari ini (padahal saya WA sudah lewat magrib lho). Trus dia janji lagi Rabu. Hari Rabu saya naik ke rumah tetangga yang belum jadi dan menemukan bahwa yang dibongkar hanya satu. Satu kanopi yang terhalang atap saya masih belum dibongkar. Saya protes lagi dong. Nah malamnya sekitar pk 21.30 dia parkir di depan rumah dan menyetel khotbah dari tape mobilnya dengan kencang sampai kedengeran ke dalam rumah. Gila kan?

Rabu.
Kamis

Kamis sore saya cek, kedua kanopi sudah dibongkar TAPI diagnti dengan jendulan dari semen. Ini manusia apa jurig ya? Kaga ngarti bahasa kali ya? Ketika saya turun dari atas rumah tetangga, saya kepergok oleh sekretaris RT. Wes saya jadi bocor lah cerita semua dari A sampai Z. Saya pikir toh beliau ini pengurus RT kok. Beliau akhirnya menyampaikan ke tukangnya untuk meratakan tembok itu paling lambat hari Minggu.

Kamis. See, masih nonjol kan?

Memang betul hari Minggu itu temboknya sudah rata. Tapi ternyata ketenangan itu adalah awal dari badai. Hari Senin pulang kerja saya menemukan dapur saya banjir. Banjir terparah sepanjang saya tinggal di rumah ini, padahal dulu bocornya lebih parah daripada sekarang-sekarang ini. Saya bingung darimana air sebanyak ini hingga pada Selasa pagi menjelang subuh, hujan turun dengan deras dan sudut rumah saya berubah jadi pancuran. Pantas saja dapur saya banjir parah. Saya laporkan kondisi ini ke pengurus RT dan ke calon tetangga. Selasa siang tukangnya naik, tapi dia malah mengungkit-ungkit soal talang saya yang lewat batas rumah dia. Lah, kan udeh gue suru potong, Malih. Selama ini juga ga ada masalah kok di rumah saya. Trus dia mempermasalahkan rumah belakang saya yang ga punya talang. Selama ini kan sebagian rumah belakang saya sudah pakai talang yang saya buatkan dengan buangan air bersama. Gak pernah ada masalah apa-apa kok.

Dah diinjek-injek tapi ga dibetulin dong.

Ternyata menyelesaikan masalah dengan keributan kadang-kadang bisa lebih solutif daripada lewat birokrasi. Setelah beberapa kali dipanggil pengurus RT, malah rumah saya yang dituduh : fibernya rusak lah, talangnya lapuk lah. Padahal semuanya baru berusia sekitar setahun. Belum umurnya untuk rusak kecuali diinjak. Dan kalau dilihat dari bentuk pancurannya, kelihatan kok corong talangnya pecah (ga kelihatan di foto).

Tapi mereka menutup mata dengan pelanggaran yang sudah calon tetangga saya buat : bikin jendela dan kanopi ke arah rumah saya. Bikin stand buat kompresor AC yang melewati rumah belakangnya sepanjang 40 cm. Terutama mereka ngga mempertimbangkan argumen saya : “Rumah si calon tetangga itu kan udah naik dari bulan September – Oktober, hujan besar juga udah sering terjadi, bahkan pakai angin, tapi kenapa bocor pancurannya baru terjadi di minggu ini?’

Saya lalu minta tolong tukangnya Pak RT untuk mencari solusinya. Menurut beliau tembok rumah saya harus ditinggikan di tiga sisinya. Resikonya : talang rumah belakang yang selama ini numpang rumah saya harus dicopot, lalu dengan tembok saya yang lebih tinggi, tetangga sebelah kanan saya yang sangat baik itu juga pasti akan jadi korban selanjutnya. Kami sekeluarga akhirnya minta si tukang untuk memperbaiki yang urgent dulu aja : ganti corong talang beserta talangnya, dan merapikan genteng-genteng yang geser. Nggak enak juga kalau sampai tetangga lain yang selama ini damai-damai aja malah jadi kena bocor juga kan? Mungkin karena kami menolak usulan proyek beliau, sampai hari ini beliau tidak datang ke rumah. Janjinya Sabtu, batal. Hari Sabtu janji lagi hari Minggu, tapi Minggunya ga ada kabar.

Udah gitu, sekitar dua minggu ini si calon tetangga nangkring parkir di depan rumah saya setiap malam. Ga ada sepatah katapun yang dia katakan. Sebetulnya saya bisa maklum dia parkir di depan rumah saya karena dia belum punya garasi. Tapi kok setiap malam ya? Gak Ada omongan apa-apa pula. Lama-lama harus pasang meteran parkir juga kali ya?

Exif_JPEG_420

Ku ingin berkata kasar!!

Uncategorized

[Catatan Srei]

Tetaplah disini, meski kita belum bisa saling memahami.
Tetaplah disini, meski yang kita bisa lakukan hanyalah berbagi seutas senyum dan ucapan selamat pagi.
Semoga itu bisa menjadi candu yang membuat kita selalu saling terhubung.

Tetaplah disini, berjalan mendahuluiku atau ada di belakangku, kala kita belum bisa berjalan berdampingan.
Janganlah memalingkan wajah jika aku lebih lambat daripada biasanya.
Itu sudah cukup bagiku untuk bisa memahami apa arti dari suatu keberadaan.

Jangan pergi, ketika kita belum tahu apa yang mesti kita lakukan. Kala benak kita masih penuh dengan asumsi dan pertanyaan, dan tak terhitung banyaknya teka-teki yang membuatku kebingungan.

Ada secercah cahaya dari balik jendela gelapmu, ketika malam menjadi begitu menakutkanku.
Ada tatapan matamu dari balik jendela itu, ketika hujan menyamarkan air mataku.
Ketika semua tampak seperti kebetulan, meski aku ingin percaya bahwa tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini.

Tetaplah disini ketika aku mulai jatuh cinta..
Kepada pagi..

Uncategorized

[Catatan Srei] Kenangan

Kadang dengan yakin saya berkata, “Aku sudah merelakan.” atau “Aku sudah move on”. Tapi tanpa sengaja ada hal-hal yang bisa memantik kenangan-kenangan masa lalu itu untuk hadir kembali dengan segala detail, warna, rasa, dan suara. Ditambah lagi dengan suasana hati, senyum, atau air mata yang ikut datang bersama mereka. Hingga akhirnya saya lupa pada kata-kata “merelakan” dan “move on” itu.

Akhir bulan lalu saya menerima sebuah berita duka cita. Seorang legioner auxilier di paroki berpulang ke surga. Beliau ini sering sekali menggantikan tugas-tugas saya saat sedang malas, terutama saat saya hanya ingin bersembunyi di belakang layar atau di ceruk pintu ruang pengakuan dosa. Beliau ini yang berani maju ke depan saat saya enggan berjumpa banyak orang. (Thanks a lot, Mba..). Saat mendengar kabar kepergiannya, di benak saya terbersit satu nama yang harus saya kabari. Seseorang dari masa lalu yang memberikan saya julukan “gembol” karena sering membawa banyak jinjingan. Julukan yang sama dengan almarhumah karena kami punya kebiasaan “gembol” yang sama.

Tak butuh waktu lama hingga kenangan tentang “seseorang dari masa lalu” itu muncul menyapa. Walaupun ia menjuluki saya “gembol”, tapi ia membawakan tas pada hari terakhir kebersamaan kami. Ia yang keukeuh bilang bahwa saya nggak galak saat senior saya bilang saya ini judes dan galak (bahkan mengingatnya saja masih membuat saya meleleh). Ia yang berinisiatif menggandeng tangan saya saat saya takut menyeberangi jembatan gantung (dan saya meleleh lagi).

Tiba-tiba saya juga teringat aroma lemon yang menguar dari sebuah kue ulang tahun, sapaan hangat pada sebuah pagi yang dingin di bulan November, dan kalimat, “Aku masih sama seperti aku yang dulu.”

Ah.. Jadi kangen.. Tapi mungkin saya perlu mendefinisikan ulang rasa kangen ini. Apakah saya sungguh rindu dengan seseorang dari masa lalu itu, atau mungkin hanya sekadar rindu pada masa lalu.

Kau tahu aku merelakanmu..

Aku cuma rindu, aku cuma rindu.

Takkan mencoba tuk merebutmu..

Aku cuma rindu..

Itu saja..

(Gagal Bersembunyi – The Rain)